Situasi Kematian dan Kesakitan |
Kematian yang disebabkan oleh penyakit kardiovaskuler/cardiovascular diseases (CVD), terutama penyakit jantung koroner dan stroke diperkirakan akan terus meningkat mencapai 23,3 juta kematian pada tahun 2030 (Kementerian Kesehatan, 2014). Kematian dini akibat PTM lebih tinggi persentasenya pada negara berkembang dibandingkan dengan negara maju. Peningkatan kematian akibat penyakit tidak menular sebanyak 10 persen dapat menurunkan produktivitas ekonomi sebanyak 0,5 persen (Jakab, 2018).
Analisis Kematian akibat Kelompok Penyakit
Penyakit tidak menular, khususnya penyakit kardiovaskular, tercatat sebagai penyakit dengan mortalitas tertinggi di Indonesia. Tampak adanya pergeseran dari penyebab kematian pada era reformasi yang didominansi oleh penyakit menular, maternal neonatal, dan penyakit nutritional menjadi dominansi penyakit tidak menular pada tahun 2021. Kementerian Kesehatan mencatat 19,8% penyebab kematian akibat PTM adalah stroke dan 14,4% adalah penyakit jantung dan pembuluh darah lainnya.
Sumber: IHME
Hasil analisis data terkait kematian akibat kelompok penyakit CVD di Indonesia ditunjukan pada gambar 1. Gambar tersebut menunjukkan bahwa provinsi DI Yogyakarta memiliki persentase terbanyak sebesar 41% kematian penyakit CVD dari seluruh kematian yang ada dibandingkan provinsi lainnya. Namun angka terendah pada persentase 22 % dimiliki oleh provinsi Kalimantan Utara. Angka tersebut telah menunjukkan bahwa kelompok penyakit CVD telah menyumbang angka yang cukup besar untuk kematian di Indonesia. Sebagian besar wilayah timur Indonesia memiliki warna yang cukup terang menunjukkan persentase kematian akibat penyakit CVD.
Gambaran Data Prevalensi
Data prevalensi menurut SKI 2023 menunjukkan persebaran penderita penyakit jantung antar provinsi, dengan data prevalensi terbanyak di Provinsi DI Yogyakarta yaitu sebesar 1,67% sementara data prevalensi paling sedikit di Provinsi Papua Pegunungan yaitu sebesar 0,11%. Prevalensi penyakit jantung secara nasional adalah sebesar 0,85%.
Prevalensi penyakit jantung berdasarkan diagnosis dokter pada penduduk sesuai umur menurut Provinsi, SKI 2023
Tabel Prevalensi Penyakit Jantung Berdasarkan Diagnosis Dokter menurut Provinsi
(Sumber: SKI 2023)
Provinsi | Prevalensi (%) |
Aceh | 0.77 |
Sumatera Utara | 0.60 |
Sumatera Barat | 0.87 |
Riau | 0.53 |
Jambi | 0.47 |
Sumatera Selatan | 0.58 |
Bengkulu | 0.63 |
Lampung | 0.58 |
Bangka Belitung | 0.87 |
Kepulauan Riau | 0.91 |
DKI Jakarta | 1.56 |
Jawa Barat | 1.18 |
Jawa Tengah | 0.79 |
DI Yogyakarta | 1.67 |
Jawa Timur | 0.88 |
Banten | 0.78 |
Bali | 1.00 |
Nusa Tenggara Barat | 0.49 |
Nusa Tenggara Timur | 0.44 |
Kalimantan Barat | 0.55 |
Kalimantan Tengah | 0.54 |
Kalimantan Selatan | 0.66 |
Kalimantan Timur | 1.08 |
Kalimantan Utara | 0.95 |
Sulawesi Utara | 0.82 |
Sulawesi Tengah | 0.65 |
Sulawesi Selatan | 0.69 |
Sulawesi Tenggara | 0.51 |
Sulawesi Gorontalo | 0.60 |
Sulawesi Barat | 0.37 |
Maluku | 0.44 |
Maluku Utara | 0.27 |
Papua Barat | 0.51 |
Papua Barat Daya | 0.51 |
Papua | 0.68 |
Papua Selatan | 0.38 |
Papua Tengah | 1.65 |
Papua Pegunungan | 0.11 |
INDONESIA | 0.85 |
Situasi Kematian dan Kesakitan |
Kematian yang disebabkan oleh penyakit kardiovaskuler/cardiovascular diseases (CVD), terutama penyakit jantung koroner dan stroke diperkirakan akan terus meningkat mencapai 23,3 juta kematian pada tahun 2030 (Kementerian Kesehatan, 2014). Kematian dini akibat PTM lebih tinggi persentasenya pada negara berkembang dibandingkan dengan negara maju. Peningkatan kematian akibat penyakit tidak menular sebanyak 10 persen dapat menurunkan produktivitas ekonomi sebanyak 0,5 persen (Jakab, 2018).
Analisis Kematian akibat Kelompok Penyakit
Penyakit tidak menular, khususnya penyakit kardiovaskular, tercatat sebagai penyakit dengan mortalitas tertinggi di Indonesia. Tampak adanya pergeseran dari penyebab kematian pada era reformasi yang didominansi oleh penyakit menular, maternal neonatal, dan penyakit nutritional menjadi dominansi penyakit tidak menular pada tahun 2021. Kementerian Kesehatan mencatat 19,8% penyebab kematian akibat PTM adalah stroke dan 14,4% adalah penyakit jantung dan pembuluh darah lainnya.
Sumber: IHME
Hasil analisis data terkait kematian akibat kelompok penyakit CVD di Indonesia ditunjukan pada gambar 1. Gambar tersebut menunjukkan bahwa provinsi DI Yogyakarta memiliki persentase terbanyak sebesar 41% kematian penyakit CVD dari seluruh kematian yang ada dibandingkan provinsi lainnya. Namun angka terendah pada persentase 22 % dimiliki oleh provinsi Kalimantan Utara. Angka tersebut telah menunjukkan bahwa kelompok penyakit CVD telah menyumbang angka yang cukup besar untuk kematian di Indonesia. Sebagian besar wilayah timur Indonesia memiliki warna yang cukup terang menunjukkan persentase kematian akibat penyakit CVD.
Gambaran Data Prevalensi
Data prevalensi menurut SKI 2023 menunjukkan persebaran penderita penyakit jantung antar provinsi, dengan data prevalensi terbanyak di Provinsi DI Yogyakarta yaitu sebesar 1,67% sementara data prevalensi paling sedikit di Provinsi Papua Pegunungan yaitu sebesar 0,11%. Prevalensi penyakit jantung secara nasional adalah sebesar 0,85%.
Prevalensi penyakit jantung berdasarkan diagnosis dokter pada penduduk sesuai umur menurut Provinsi, SKI 2023
Tabel Prevalensi Penyakit Jantung Berdasarkan Diagnosis Dokter menurut Provinsi
(Sumber: SKI 2023)
Provinsi | Prevalensi (%) |
Aceh | 0.77 |
Sumatera Utara | 0.60 |
Sumatera Barat | 0.87 |
Riau | 0.53 |
Jambi | 0.47 |
Sumatera Selatan | 0.58 |
Bengkulu | 0.63 |
Lampung | 0.58 |
Bangka Belitung | 0.87 |
Kepulauan Riau | 0.91 |
DKI Jakarta | 1.56 |
Jawa Barat | 1.18 |
Jawa Tengah | 0.79 |
DI Yogyakarta | 1.67 |
Jawa Timur | 0.88 |
Banten | 0.78 |
Bali | 1.00 |
Nusa Tenggara Barat | 0.49 |
Nusa Tenggara Timur | 0.44 |
Kalimantan Barat | 0.55 |
Kalimantan Tengah | 0.54 |
Kalimantan Selatan | 0.66 |
Kalimantan Timur | 1.08 |
Kalimantan Utara | 0.95 |
Sulawesi Utara | 0.82 |
Sulawesi Tengah | 0.65 |
Sulawesi Selatan | 0.69 |
Sulawesi Tenggara | 0.51 |
Sulawesi Gorontalo | 0.60 |
Sulawesi Barat | 0.37 |
Maluku | 0.44 |
Maluku Utara | 0.27 |
Papua Barat | 0.51 |
Papua Barat Daya | 0.51 |
Papua | 0.68 |
Papua Selatan | 0.38 |
Papua Tengah | 1.65 |
Papua Pegunungan | 0.11 |
INDONESIA | 0.85 |
Perkembangan Klaim BPJS Kesehatan |
Penjelasan diagram:
Berdasarkan data total klaim yang telah diagregasi untuk tahun pelayanan layanan CVD dengan menggunakan skema JKN, gambar 2 menunjukkan jumlah rupiah yang dibayarkan oleh BPJS Kesehatan untuk rumah sakit. Data tersebut menunjukkan bahwa daerah Jawa (Regional 1) mendapatkan pembayaran lebih banyak dibandingkan dengan provinsi lainnya dengan trend yang meningkat tajami. Sementara itu d Regional V (Papua dan Maluku) terjadi stagnasi.
Selain provinsi di Pulau Jawa, Provinsi dengan kekuatan fiskal yang cukup baik seperti Bali, Sulawesi Tenggara, dan Sumatera Utara mampu menyerap dana JKN untuk layanan jantung lebih baik pula (Lihat Tabel)
Silakan klik tombol dibawah ini untuk melihat trend setiap propinsi selama 10 tahun
Perkembangan Klaim BPJS Kesehatan |
Penjelasan diagram:
Berdasarkan data total klaim yang telah diagregasi untuk tahun pelayanan layanan CVD dengan menggunakan skema JKN, gambar 2 menunjukkan jumlah rupiah yang dibayarkan oleh BPJS Kesehatan untuk rumah sakit. Data tersebut menunjukkan bahwa daerah Jawa (Regional 1) mendapatkan pembayaran lebih banyak dibandingkan dengan provinsi lainnya dengan trend yang meningkat tajami. Sementara itu d Regional V (Papua dan Maluku) terjadi stagnasi.
Selain provinsi di Pulau Jawa, Provinsi dengan kekuatan fiskal yang cukup baik seperti Bali, Sulawesi Tenggara, dan Sumatera Utara mampu menyerap dana JKN untuk layanan jantung lebih baik pula (Lihat Tabel)
Silakan klik tombol dibawah ini untuk melihat trend setiap propinsi selama 10 tahun
Sejarah Kebijakan Publik terkait Pelayanan Jantung sampai dengan Tahun 2023 |
1. Periode Pasca Reformasi
Sejak dibentuknya Kabinet Reformasi, telah dilakukan redefinisi terhadap visi, misi, dan strategi pembangunan kesehatan. Tahun 1999, setelah krisis moneter dan reformasi politik di Indonesia, sektor kesehatan Indonesia juga mengalami desentralisasi sebagai konsekuensi desentralisasi di bidang politik. Dengan adanya desentralisasi, pemerintah provinsi dan kabupaten dapat menetapkan kebijakan, termasuk kebijakan kesehatan, sehingga di tiap daerah, sistem kesehatan dapat mempunyai perbedaan.
Transisi Epidemiologi: Penyakit Menular ke Penyakit Tidak Menular
Angka kemiskinan yang meningkat tajam setelah krisis keuangan serta goncangan lainnya mendorong munculnya kebijakan program jaminan untuk rakyat miskin berupa Social Safety Net/Jaring Pengaman Sosial Bidang Kesehatan (JPS-BK), Program Dampak Pengurangan Subsidi Energi-Bidang Kesehatan (PDPSE-BK), dan dilanjutkan dengan Program Kompensasi Pengurangan Subsidi Bahan Bakar Minyak (PKPS-BBM) yang, berdasarkan Review Sistematis Program Jaminan Kesehatan Masyarakat Miskin 1999-2005, berpengaruh positif bagi peningkatan akses dan utilisasi yankes dasar bagi masyarakat miskin pada masa krisis. Dalam pelaksanaannya, Pemerintah meluncurkan program jaminan pemeliharaan kesehatan keluarga miskin (JPK-Gakin) dengan cakupan yang meliputi yankes dasar serta pelayanan pencegahan dan pemberantasan penyakit menular. Transisi pola penyakit dari penyakit menular ke PTM terdeteksi dengan adanya hasil SKRT 1980-2000 dimana proporsi kematian akibat infeksi menurun secara signifikan, sementara kematian akibat penyakit degeneratif meningkat dua hingga tiga kali lipat dalam 20 tahun terakhir. Namun, karena kesenjangan ekonomi yang tajam akibat krisis ekonomi, pemerintah menghadapi beban ganda (double burden) dengan penyakit infeksi yang dominan pada kelompok miskin dan penyakit degeneratif yang dominan pada kelompok kaya.
Pemerintah kemudian melakukan redefinisi terhadap visi, misi, dan strategi pembangunan kesehatan. Kebijakan pembangunan kesehatan menuju Indonesia Sehat 2010 ditetapkan dalam Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 574/Menkes/SK/IV/2000 dan mencanangkan visi “Indonesia Sehat 2010” dengan indikator Indonesia Sehat 2010 antara lain angka kematian bayi, angka kematian balita, angka kematian ibu, angka harapan hidup waktu lahir, angka kesakitan malaria, angka kesembuhan TB Paru BTA (+), prevalensi HIV, angka Acute Flaccid Paralysis (AFP), dan angka kesakitan DBD. Jika menilik pada tujuan dan indikator ini, terlihat bahwa pada masa itu kebijakan upaya kesehatan untuk PTM telah dipertimbangkan, namun fokus utama masih pada penanggulangan penyakit menular seperti malaria, TB, HIV, AFP, maupun DBD.
Millennium Development Goals (MDGs)
MDGs menjadi referensi penting pembangunan kesehatan di Indonesia yang tercantum dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2004-2009. Fokus Indonesia terkait MDGs di bidang kesehatan adalah pada angka kematian anak, kesehatan ibu, dan penyakit menular, sementara masalah PTM berupa penyakit jantung belum menjadi perhatian utama di Indonesia.
2. Periode Era JKN (2009-2019)
Kebijakan pasca pengesahan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009
Periode ini diawali dengan pengesahan UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Dalam hal PTM, UU ini mengamanatkan pengendalian PTM dalam Bab X Bagian Kedua. Dalam Pasal 161 disebutkan bahwa manajemen pelayanan kesehatan PTM meliputi keseluruhan spektrum pelayanan baik promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif, namun dititikberatkan pada deteksi dini dan pengobatan.
Sustainable Development Goals (SDGs)
PTM telah menjadi isu strategis dalam agenda SDGs 2030 sehingga harus menjadi prioritas pembangunan di setiap negara. Tujuan pembangunan berkelanjutan yang ketiga yaitu good health and well-being memiliki sejumlah sasaran dan target diantaranya menurunkan angka kematian dini akibat PTM melalui upaya pencegahan dan pengobatan yang tepat. Penyakit tidak menular memiliki kontribusi terhadap hampir 86 persen kasus kematian secara global pada tahun 2016 yang disebabkan oleh kelompok penyakit kardiovaskuler, kanker, diabetes dan gangguan respiratorik kronis (WHO Regional Office for Europe, 2019) .
Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, khususnya Pasal 28H ayat (3) dan Pasal 34 ayat (2), mengamanatkan negara memberikan jaminan kesehatan kepada masyarakat Indonesia. Jaminan ini ditetapkan dalam UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Menyusul terbentuknya UU Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), sistem jaminan sosial di bidang kesehatan resmi beroperasi sejak 1 Januari 2014 dan disebut sebagai program JKN.
Indonesia memiliki tujuan untuk menjamin akses ke semua layanan kesehatan termasuk pembiayaan layanan kardiovaskuler bagi seluruh penduduk sejak diterbitkan UU SJSN dan UU BPJS (Mundiharno & Thabrany, 2012). Seperti yang telah diulas dalam Laporan Reviu Kebijakan Program JKN, 30% dari total klaim BPJS Kesehatan digunakan untuk 5 penyakit katastropik, dimana penyakit jantung merupakan salah satu dari penyakit katastropik yang dimaksud bersama dengan diabetes, kanker, stroke dan gagal ginjal. Di tahun 2018, BPJS Kesehatan telah membayar lebih dari Rp 18 Triliun (24,81 persen) dari seluruh pembiayaan JKN yang ada untuk penyakit kardiovaskuler sebagai penyakit dengan pembiayaan tertinggi. Data tersebut menjelaskan lebih dalam bahwa satu orang peserta dengan penyakit jantung menghabiskan lebih dari Rp 40 juta pertahun. Jumlah peserta JKN dengan diagnosa penyakit jantung bertambah hingga 9.667 per tahun dan total peserta tersebut adalah 48.342 (BPJS Kesehatan, 2018).
Untuk mengurai biaya layanan penyakit kardiovaskuler yang begitu besar, kebijakan seperti kapitasi berbasis komitmen (KBK) dimaksudkan untuk mengurangi angka rujukan Nonspesialistik ke rumah sakit (Kementerian Kesehatan RI, 2016). Namun, fakta yang ditemukan dilapangan bervariasi dimana ada puskesmas yang memiliki nilai kapitasi yang kecil karena tidak mempu menyediakan dokter umum (Yandrizal et al., 2016). Kekosongan dokter umum menjadi salah satu faktor yang akan berdampak ketidaksiapan puskesmas untuk melayani penyakit kardiovaskuler (The World Bank, 2014; World Bank Group, 2018). Masalah disparitas dalam layanan kardiovaskuler tersebut berdampak keadilan sosial dalam stuktur sosial dan sistem ekonomi (Cooper et al., 2016).
3. Periode Post-Pandemi Covid-19
Pada tahun 2023, Kementerian Kesehatan mencanangkan program jejaring pengampuan kardiovaskular sebagai bagian sari salah satu pilar transformasi kesehatan yaitu Transformasi Layanan Rujukan yang ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan. Transformasi Layanan Rujukan salah satunya diwujudkan dalam program pengampuan penyakit kardiovaskuler yang diatur dalam Keputusan Menteri Kesehatan Nomor HK.01.07/MENKES/1341/2023 yang diterjemahkan dalam Keputusan Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan Nomor Hk.02.02/D/39246/2024 Tentang Petunjuk Teknis Penyelenggaraan Rumah Sakit Jejaring Pengampuan Pelayanan Kardiovaskular. Program pengampuan ini diharapkan dapat mengoptimalisasi pelayanan di rumah sakit dengan misi pemerataan pelayanan kardiovaskular nasional melalui peningkatan kemampuan SDM, sarana, prasarana, dan alat kesehatan, serta penatalaksanaan dan rujukan dalam pelayanan kesehatan yang diberikan melaui transfer ilmu pengetahuan dan keterampilan. Program ini diwujudkan dalam bentuk pengampuan pelayanan penyakit jantung mulai dari proses diagnostik, termasuk diagnostik invasif, hingga intervensi non bedah maupun tindakan bedah pintas (by pass) arteri koroner. Dengan demikian, kebijakan ini diharapkan dapat menurunkan angka kematian dan kesakitan kardiovaskular.
Semua Kebijakan mengenai Jantung sebagai bukti sejarah dapat diklik di bawah ini
: Kebijakan pengelolaan penyakit tidak menular termasuk jantung | |
: Kebijakan yang mengatur sektor kesehatan | |
: Kebijakan yang mengatur sektor kesehatan |
Sejarah Kebijakan Publik terkait Pelayanan Jantung sampai dengan Tahun 2023 |
1. Periode Pasca Reformasi
Sejak dibentuknya Kabinet Reformasi, telah dilakukan redefinisi terhadap visi, misi, dan strategi pembangunan kesehatan. Tahun 1999, setelah krisis moneter dan reformasi politik di Indonesia, sektor kesehatan Indonesia juga mengalami desentralisasi sebagai konsekuensi desentralisasi di bidang politik. Dengan adanya desentralisasi, pemerintah provinsi dan kabupaten dapat menetapkan kebijakan, termasuk kebijakan kesehatan, sehingga di tiap daerah, sistem kesehatan dapat mempunyai perbedaan.
Transisi Epidemiologi: Penyakit Menular ke Penyakit Tidak Menular
Angka kemiskinan yang meningkat tajam setelah krisis keuangan serta goncangan lainnya mendorong munculnya kebijakan program jaminan untuk rakyat miskin berupa Social Safety Net/Jaring Pengaman Sosial Bidang Kesehatan (JPS-BK), Program Dampak Pengurangan Subsidi Energi-Bidang Kesehatan (PDPSE-BK), dan dilanjutkan dengan Program Kompensasi Pengurangan Subsidi Bahan Bakar Minyak (PKPS-BBM) yang, berdasarkan Review Sistematis Program Jaminan Kesehatan Masyarakat Miskin 1999-2005, berpengaruh positif bagi peningkatan akses dan utilisasi yankes dasar bagi masyarakat miskin pada masa krisis. Dalam pelaksanaannya, Pemerintah meluncurkan program jaminan pemeliharaan kesehatan keluarga miskin (JPK-Gakin) dengan cakupan yang meliputi yankes dasar serta pelayanan pencegahan dan pemberantasan penyakit menular. Transisi pola penyakit dari penyakit menular ke PTM terdeteksi dengan adanya hasil SKRT 1980-2000 dimana proporsi kematian akibat infeksi menurun secara signifikan, sementara kematian akibat penyakit degeneratif meningkat dua hingga tiga kali lipat dalam 20 tahun terakhir. Namun, karena kesenjangan ekonomi yang tajam akibat krisis ekonomi, pemerintah menghadapi beban ganda (double burden) dengan penyakit infeksi yang dominan pada kelompok miskin dan penyakit degeneratif yang dominan pada kelompok kaya.
Pemerintah kemudian melakukan redefinisi terhadap visi, misi, dan strategi pembangunan kesehatan. Kebijakan pembangunan kesehatan menuju Indonesia Sehat 2010 ditetapkan dalam Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 574/Menkes/SK/IV/2000 dan mencanangkan visi “Indonesia Sehat 2010” dengan indikator Indonesia Sehat 2010 antara lain angka kematian bayi, angka kematian balita, angka kematian ibu, angka harapan hidup waktu lahir, angka kesakitan malaria, angka kesembuhan TB Paru BTA (+), prevalensi HIV, angka Acute Flaccid Paralysis (AFP), dan angka kesakitan DBD. Jika menilik pada tujuan dan indikator ini, terlihat bahwa pada masa itu kebijakan upaya kesehatan untuk PTM telah dipertimbangkan, namun fokus utama masih pada penanggulangan penyakit menular seperti malaria, TB, HIV, AFP, maupun DBD.
Millennium Development Goals (MDGs)
MDGs menjadi referensi penting pembangunan kesehatan di Indonesia yang tercantum dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2004-2009. Fokus Indonesia terkait MDGs di bidang kesehatan adalah pada angka kematian anak, kesehatan ibu, dan penyakit menular, sementara masalah PTM berupa penyakit jantung belum menjadi perhatian utama di Indonesia.
2. Periode Era JKN (2009-2019)
Kebijakan pasca pengesahan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009
Periode ini diawali dengan pengesahan UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Dalam hal PTM, UU ini mengamanatkan pengendalian PTM dalam Bab X Bagian Kedua. Dalam Pasal 161 disebutkan bahwa manajemen pelayanan kesehatan PTM meliputi keseluruhan spektrum pelayanan baik promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif, namun dititikberatkan pada deteksi dini dan pengobatan.
Sustainable Development Goals (SDGs)
PTM telah menjadi isu strategis dalam agenda SDGs 2030 sehingga harus menjadi prioritas pembangunan di setiap negara. Tujuan pembangunan berkelanjutan yang ketiga yaitu good health and well-being memiliki sejumlah sasaran dan target diantaranya menurunkan angka kematian dini akibat PTM melalui upaya pencegahan dan pengobatan yang tepat. Penyakit tidak menular memiliki kontribusi terhadap hampir 86 persen kasus kematian secara global pada tahun 2016 yang disebabkan oleh kelompok penyakit kardiovaskuler, kanker, diabetes dan gangguan respiratorik kronis (WHO Regional Office for Europe, 2019) .
Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, khususnya Pasal 28H ayat (3) dan Pasal 34 ayat (2), mengamanatkan negara memberikan jaminan kesehatan kepada masyarakat Indonesia. Jaminan ini ditetapkan dalam UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Menyusul terbentuknya UU Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), sistem jaminan sosial di bidang kesehatan resmi beroperasi sejak 1 Januari 2014 dan disebut sebagai program JKN.
Indonesia memiliki tujuan untuk menjamin akses ke semua layanan kesehatan termasuk pembiayaan layanan kardiovaskuler bagi seluruh penduduk sejak diterbitkan UU SJSN dan UU BPJS (Mundiharno & Thabrany, 2012). Seperti yang telah diulas dalam Laporan Reviu Kebijakan Program JKN, 30% dari total klaim BPJS Kesehatan digunakan untuk 5 penyakit katastropik, dimana penyakit jantung merupakan salah satu dari penyakit katastropik yang dimaksud bersama dengan diabetes, kanker, stroke dan gagal ginjal. Di tahun 2018, BPJS Kesehatan telah membayar lebih dari Rp 18 Triliun (24,81 persen) dari seluruh pembiayaan JKN yang ada untuk penyakit kardiovaskuler sebagai penyakit dengan pembiayaan tertinggi. Data tersebut menjelaskan lebih dalam bahwa satu orang peserta dengan penyakit jantung menghabiskan lebih dari Rp 40 juta pertahun. Jumlah peserta JKN dengan diagnosa penyakit jantung bertambah hingga 9.667 per tahun dan total peserta tersebut adalah 48.342 (BPJS Kesehatan, 2018).
Untuk mengurai biaya layanan penyakit kardiovaskuler yang begitu besar, kebijakan seperti kapitasi berbasis komitmen (KBK) dimaksudkan untuk mengurangi angka rujukan Nonspesialistik ke rumah sakit (Kementerian Kesehatan RI, 2016). Namun, fakta yang ditemukan dilapangan bervariasi dimana ada puskesmas yang memiliki nilai kapitasi yang kecil karena tidak mempu menyediakan dokter umum (Yandrizal et al., 2016). Kekosongan dokter umum menjadi salah satu faktor yang akan berdampak ketidaksiapan puskesmas untuk melayani penyakit kardiovaskuler (The World Bank, 2014; World Bank Group, 2018). Masalah disparitas dalam layanan kardiovaskuler tersebut berdampak keadilan sosial dalam stuktur sosial dan sistem ekonomi (Cooper et al., 2016).
3. Periode Post-Pandemi Covid-19
Pada tahun 2023, Kementerian Kesehatan mencanangkan program jejaring pengampuan kardiovaskular sebagai bagian sari salah satu pilar transformasi kesehatan yaitu Transformasi Layanan Rujukan yang ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan. Transformasi Layanan Rujukan salah satunya diwujudkan dalam program pengampuan penyakit kardiovaskuler yang diatur dalam Keputusan Menteri Kesehatan Nomor HK.01.07/MENKES/1341/2023 yang diterjemahkan dalam Keputusan Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan Nomor Hk.02.02/D/39246/2024 Tentang Petunjuk Teknis Penyelenggaraan Rumah Sakit Jejaring Pengampuan Pelayanan Kardiovaskular. Program pengampuan ini diharapkan dapat mengoptimalisasi pelayanan di rumah sakit dengan misi pemerataan pelayanan kardiovaskular nasional melalui peningkatan kemampuan SDM, sarana, prasarana, dan alat kesehatan, serta penatalaksanaan dan rujukan dalam pelayanan kesehatan yang diberikan melaui transfer ilmu pengetahuan dan keterampilan. Program ini diwujudkan dalam bentuk pengampuan pelayanan penyakit jantung mulai dari proses diagnostik, termasuk diagnostik invasif, hingga intervensi non bedah maupun tindakan bedah pintas (by pass) arteri koroner. Dengan demikian, kebijakan ini diharapkan dapat menurunkan angka kematian dan kesakitan kardiovaskular.
Semua Kebijakan mengenai Jantung sebagai bukti sejarah dapat diklik di bawah ini
: Kebijakan pengelolaan penyakit tidak menular termasuk jantung | |
: Kebijakan yang mengatur sektor kesehatan | |
: Kebijakan yang mengatur sektor kesehatan |
Program Pencegahan |
Untuk mendapatkan pencegahan dan pengobatan PTM seperti penyakit jantung yang tepat diperlukan ada berbagai intevensi layanan PTM yang komprehensif. Program pencegahan PTM sebelumnya diatur dalam Keputusan menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 854/Menkes/SK/IX/2009 yang menargetkan puskesmas untuk melaksanakan deteksi dini, melakukan KIE faktor risiko penyakit jantung, dan melaksanakan surveilans epidemiologi penyakit jantung dan pembuluh darah. Saat ini program pencegahan PTM diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 71 Tahun 2015 tentang Penanggulangan Penyakit Tidak Menular, dimana pencegahan dititikberatkan pada pengendalian faktor risiko PTM yang dapat diubah melalui kegiatan promosi kesehatan, deteksi dini faktor risiko, dan perlindungan khusus. Dalam rangka promosi kesehatan, pemerintah berupaya mentradisikan perilaku CERDIK (Cek kesehatan secara berkala, Enyahkan asap rokok, Rajin aktivitas fisik, Diet sehat dan gizi seimbang, Istirahat yang cukup, dan Kelola stress) dengan strategi advokasi, pemberdayaan masyarakat, dan kemitraan. Deteksi dini dilakukan terhadap individu dan/atau kelompok yang berisiko atau tidak berisiko yang secara rutin dilakukan di fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas/tempat dilaksanakan Upaya Kesehatan Berbasis Masyarakat (UKBM). Program pencegahan PTM dengan UKBM ini disebut dengan Posbindu PTM. Upaya deteksi dini terhadap faktor risiko PTM termasuk penyakit jantung juga terintegrasi dengan program skrining dalam kerangka JKN yang diatur dalam Peraturan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan Nomor 2 Tahun 2019 tentang Pelaksanaan Skrining Riwayat Kesehatan dan Pelayanan Penapisan atau Skrining Kesehatan Tertentu serta Peningkatan Kesehatan bagi Peserta Penderita Penyakit Kronis dalam Program Jaminan Kesehatan.
Program Pencegahan |
Untuk mendapatkan pencegahan dan pengobatan PTM seperti penyakit jantung yang tepat diperlukan ada berbagai intevensi layanan PTM yang komprehensif. Program pencegahan PTM sebelumnya diatur dalam Keputusan menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 854/Menkes/SK/IX/2009 yang menargetkan puskesmas untuk melaksanakan deteksi dini, melakukan KIE faktor risiko penyakit jantung, dan melaksanakan surveilans epidemiologi penyakit jantung dan pembuluh darah. Saat ini program pencegahan PTM diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 71 Tahun 2015 tentang Penanggulangan Penyakit Tidak Menular, dimana pencegahan dititikberatkan pada pengendalian faktor risiko PTM yang dapat diubah melalui kegiatan promosi kesehatan, deteksi dini faktor risiko, dan perlindungan khusus. Dalam rangka promosi kesehatan, pemerintah berupaya mentradisikan perilaku CERDIK (Cek kesehatan secara berkala, Enyahkan asap rokok, Rajin aktivitas fisik, Diet sehat dan gizi seimbang, Istirahat yang cukup, dan Kelola stress) dengan strategi advokasi, pemberdayaan masyarakat, dan kemitraan. Deteksi dini dilakukan terhadap individu dan/atau kelompok yang berisiko atau tidak berisiko yang secara rutin dilakukan di fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas/tempat dilaksanakan Upaya Kesehatan Berbasis Masyarakat (UKBM). Program pencegahan PTM dengan UKBM ini disebut dengan Posbindu PTM. Upaya deteksi dini terhadap faktor risiko PTM termasuk penyakit jantung juga terintegrasi dengan program skrining dalam kerangka JKN yang diatur dalam Peraturan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan Nomor 2 Tahun 2019 tentang Pelaksanaan Skrining Riwayat Kesehatan dan Pelayanan Penapisan atau Skrining Kesehatan Tertentu serta Peningkatan Kesehatan bagi Peserta Penderita Penyakit Kronis dalam Program Jaminan Kesehatan.
Program di Pelayanan Primer |
Program di pelayanan primer untuk PTM termasuk penyakit jantung terintegrasi dalam salah satu program unggulan Kementerian Kesehatan dalam penanggulangan PTM yaitu PANDU PTM di FKTP (Pelayanan Terpadu PTM di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama). Program PANDU PTM melingkupi upaya pencegahan, pengendalian, dan tata laksana yang terintegrasi untuk tindak lanjut faktor risiko dan penyakit tidak menular dengan sasaran penduduk usia 15 tahun ke atas yang datang ke Puskesmas/ FKTP untuk kunjungan sakit maupun kunjungan sehat. Menurut data milik P2PTM Kementerian Kesehatan, sebanyak 10,5% Puskesmas di seluruh Indonesia telah melaksanakan program PANDU PTM di tahun 2015, 17,7% di tahun 2016, dan 23,2% di tahun 2017 dengan proporsi tinggi di Pulau Jawa dan Kalimantan.
Dalam skema pengendalian PTM, Puskesmas/FKTP berperan melakukan deteksi dini faktor risiko PTM, monitoring, dan konseling; melakukan pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium sederhana, penegakan diagnosis, serta tatalaksana kasus PTM. Puskesmas juga melakukan pembinaan terhadap UKBM Posbindu PTM dan menerima rujukan dari Posbindu PTM, serta melakukan rujukan kasus ke palayanan sekunder bila ada kerusakan organ target atau penyakit kesehatan penyerta.
Program di Pelayanan Primer |
Program di pelayanan primer untuk PTM termasuk penyakit jantung terintegrasi dalam salah satu program unggulan Kementerian Kesehatan dalam penanggulangan PTM yaitu PANDU PTM di FKTP (Pelayanan Terpadu PTM di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama). Program PANDU PTM melingkupi upaya pencegahan, pengendalian, dan tata laksana yang terintegrasi untuk tindak lanjut faktor risiko dan penyakit tidak menular dengan sasaran penduduk usia 15 tahun ke atas yang datang ke Puskesmas/ FKTP untuk kunjungan sakit maupun kunjungan sehat. Menurut data milik P2PTM Kementerian Kesehatan, sebanyak 10,5% Puskesmas di seluruh Indonesia telah melaksanakan program PANDU PTM di tahun 2015, 17,7% di tahun 2016, dan 23,2% di tahun 2017 dengan proporsi tinggi di Pulau Jawa dan Kalimantan.
Dalam skema pengendalian PTM, Puskesmas/FKTP berperan melakukan deteksi dini faktor risiko PTM, monitoring, dan konseling; melakukan pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium sederhana, penegakan diagnosis, serta tatalaksana kasus PTM. Puskesmas juga melakukan pembinaan terhadap UKBM Posbindu PTM dan menerima rujukan dari Posbindu PTM, serta melakukan rujukan kasus ke palayanan sekunder bila ada kerusakan organ target atau penyakit kesehatan penyerta.
Program di Pelayanan Sekunder |
Dalam pengelolaan penyakit jantung, fasilitas kesehatan rujukan tingkat lanjut baik sekunder maupun tersier berperan dalam melakukan pelayanan spesialistik sesuai permasalahan kesehatan. Rumah Sakit menerima rujukan dari pelayanan primer dan apabila pasien telah stabil, rumah sakit dapat melakukan rujukan balik ke pelayanan primer untuk melanjutkan tatalaksana pasien di pelayanan primer. Dalam melaksanakan peran ini, pelayanan rumah sakit sangat bergantung pada sumber daya yang dimiliki oleh rumah sakit. Gambar di bawah ini menjelaskan tentang kondisi ketersediaan rumah sakit mampu menjadi magnet untuk SPJP dapat tersebar di Indonesia. Warna merah menunjukkan nilai tertinggi sedangkan warna putih menunjukkan jumlah paling rendah bahkan hingga 0 (nol). Dengan menjumlahkan RS tipe A dan B kedalam satu variabel yang rumah sakit dengan layanan komprehensif, kami memetakan penyebaran layanan rumah sakit yang mampu menangani masalah penyakit jantung serius.
DKI Jakarta memiliki jumlah RS tersebut paling banyak dengan 104 RS diikuti oleh Jawa Barat sebanyak 81 RS dan Jawa Timur Sebanyak 69 RS. Secara kontras Provinsi Papua Barat dan Sulawesi Barat tidak memiliki RS tipe A dan B dan Provinsi Maluku dan Kalimantan Utara hanya memiliki 1 RS. Kondisi tersebut terlalu timpang dalam pemerataan layanan kesehatan.
Program di Pelayanan Sekunder |
Dalam pengelolaan penyakit jantung, fasilitas kesehatan rujukan tingkat lanjut baik sekunder maupun tersier berperan dalam melakukan pelayanan spesialistik sesuai permasalahan kesehatan. Rumah Sakit menerima rujukan dari pelayanan primer dan apabila pasien telah stabil, rumah sakit dapat melakukan rujukan balik ke pelayanan primer untuk melanjutkan tatalaksana pasien di pelayanan primer. Dalam melaksanakan peran ini, pelayanan rumah sakit sangat bergantung pada sumber daya yang dimiliki oleh rumah sakit. Gambar di bawah ini menjelaskan tentang kondisi ketersediaan rumah sakit mampu menjadi magnet untuk SPJP dapat tersebar di Indonesia. Warna merah menunjukkan nilai tertinggi sedangkan warna putih menunjukkan jumlah paling rendah bahkan hingga 0 (nol). Dengan menjumlahkan RS tipe A dan B kedalam satu variabel yang rumah sakit dengan layanan komprehensif, kami memetakan penyebaran layanan rumah sakit yang mampu menangani masalah penyakit jantung serius.
DKI Jakarta memiliki jumlah RS tersebut paling banyak dengan 104 RS diikuti oleh Jawa Barat sebanyak 81 RS dan Jawa Timur Sebanyak 69 RS. Secara kontras Provinsi Papua Barat dan Sulawesi Barat tidak memiliki RS tipe A dan B dan Provinsi Maluku dan Kalimantan Utara hanya memiliki 1 RS. Kondisi tersebut terlalu timpang dalam pemerataan layanan kesehatan.
Program di Pelayanan Tersier |
Program penyakit kardiovaskuler di pelayanan tersier dilaksanakan sesuai dengan kompetensi SDM dan fasilitas sarana prasarana yang tersedia di RS. Rumah sakit yang menyelenggarakan pelayanan tersier berperan penting sebagai RS pengampu dalam program pengampuan yang dicanangkan oleh Kementerian Kesehatan RI dalam Keputusan Menteri Kesehatan NomorHK.01.07/MENKES/174/2024 tentang Pedoman Penyelenggaraan Rumah Sakit Jejaring Pengampuan Pelayanan Kesehatan Prioritas dan dijelaskan lebih rinci dalam Keputusan Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan Nomor Hk.02.02/D/39246/2024 Tentang Petunjuk Teknis Penyelenggaraan Rumah Sakit Jejaring Pengampuan Pelayanan Kardiovaskular.
Program pengampuan ini merupakan upaya pemerintah meningkatkan kompetensi rumah sakit berdasarkan ketersediaan SDM, sarana, prasarana, dan alat kesehatan melalui kolaborasi antara RS pengampu dan RS diampu dengan tujuan meningkatkan akses dan mutu pelayanan kesehatan bagi beberapa penyakit prioritas, salah satunya penyakit jantung. Dalam program ini pemerintah menetapkan kriteria rumah sakit pengampu, mulai dari tingkat akreditasi, tingkat kompetensi, ketersediaan sumber daya, hingga jenis pelayanan jantung yang dapat dilakukan di RS tersebut.
Program di Pelayanan Tersier |
Program penyakit kardiovaskuler di pelayanan tersier dilaksanakan sesuai dengan kompetensi SDM dan fasilitas sarana prasarana yang tersedia di RS. Rumah sakit yang menyelenggarakan pelayanan tersier berperan penting sebagai RS pengampu dalam program pengampuan yang dicanangkan oleh Kementerian Kesehatan RI dalam Keputusan Menteri Kesehatan NomorHK.01.07/MENKES/174/2024 tentang Pedoman Penyelenggaraan Rumah Sakit Jejaring Pengampuan Pelayanan Kesehatan Prioritas dan dijelaskan lebih rinci dalam Keputusan Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan Nomor Hk.02.02/D/39246/2024 Tentang Petunjuk Teknis Penyelenggaraan Rumah Sakit Jejaring Pengampuan Pelayanan Kardiovaskular.
Program pengampuan ini merupakan upaya pemerintah meningkatkan kompetensi rumah sakit berdasarkan ketersediaan SDM, sarana, prasarana, dan alat kesehatan melalui kolaborasi antara RS pengampu dan RS diampu dengan tujuan meningkatkan akses dan mutu pelayanan kesehatan bagi beberapa penyakit prioritas, salah satunya penyakit jantung. Dalam program ini pemerintah menetapkan kriteria rumah sakit pengampu, mulai dari tingkat akreditasi, tingkat kompetensi, ketersediaan sumber daya, hingga jenis pelayanan jantung yang dapat dilakukan di RS tersebut.
Pendanaan |
Pelayanan jantung menjadi kasus yang paling tinggi memanfaatkan biaya kesehatan dari JKN-BPJS Kesehatan pada tahun 2022 dengan jumlah kasus penyakit jantung yang dibiayai dengan JKN sebanyak 15 juta kasus. Perkembangan klaim BPJS dapat dilihat pada tautan ini.
Pelayanan jantung, baik promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif, juga memanfaatkan pembiayaan kesehatan di luar program JKN baik dari anggaran pemerintah pusat dan daerah, out of pocket, maupun filantropi. Berbagai upaya promotif dan preventif untuk penyakit tidak menular menjadi program rutin Kementerian Kesehatan dan Dinas Kesehatan. Sementara, selain untuk membiayai direct cost, pengeluaran mandiri maupun penggalangan dana juga turut membiayai indirect cost pada kasus penyakit jantung, mengingat penyakit ini bersifat kronik sehingga terdapat biaya non medis seperti kebutuhan transportasi, rumah singgah, maupun biaya penunggu keluarga pasien. Meski demikian, saat ini data yang tersedia terkait kantong-kantong pembiayaan ini tidak menyebutkan secara spesifik biaya untuk penyakit jantung.
Pendanaan |
Pelayanan jantung menjadi kasus yang paling tinggi memanfaatkan biaya kesehatan dari JKN-BPJS Kesehatan pada tahun 2022 dengan jumlah kasus penyakit jantung yang dibiayai dengan JKN sebanyak 15 juta kasus. Perkembangan klaim BPJS dapat dilihat pada tautan ini.
Pelayanan jantung, baik promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif, juga memanfaatkan pembiayaan kesehatan di luar program JKN baik dari anggaran pemerintah pusat dan daerah, out of pocket, maupun filantropi. Berbagai upaya promotif dan preventif untuk penyakit tidak menular menjadi program rutin Kementerian Kesehatan dan Dinas Kesehatan. Sementara, selain untuk membiayai direct cost, pengeluaran mandiri maupun penggalangan dana juga turut membiayai indirect cost pada kasus penyakit jantung, mengingat penyakit ini bersifat kronik sehingga terdapat biaya non medis seperti kebutuhan transportasi, rumah singgah, maupun biaya penunggu keluarga pasien. Meski demikian, saat ini data yang tersedia terkait kantong-kantong pembiayaan ini tidak menyebutkan secara spesifik biaya untuk penyakit jantung.
SDM Dokter Sp. JP |
Provinsi DKI Jakarta, Jawa Barat dan Jawa Timur merupakan provinsi dengan dokter spesialis penyakit dalam dan penyakit jantung terbanyak berdasarkan surat tanda registrasi (STR) yang telah terdaftar pada Konsil Kedokteran Indonesia per Januari 2014. Sedangkan di beberapa provinsi lainnya, yaitu Kalimantan Utara, Gorontalo, Sulawesi Barat, Maluku, Maluku Utara dan Papua Barat tidak terdapat dokter spesialis penyakit jantung dan hanya sedikit dokter spesialis penyakit dalam. Diperkirakan, rasio dokter spesialis jantung dan penderita penyakit jantung koroner dan gagal jantung di Provinsi DKI Jakarta sebesar 1:268 dan 1:57, yang artinya bahwa 1 dokter spesialis jantung menangani sebanyak 268 pasien penyakit jantung koroner dan 57 pasien penyakit gagal jantung (Kementerian Kesehatan, 2014).
Silakan klik tombol dibawah ini untuk melihat jumlah dokter spesialis jantung masing-masing provinsi
Lihat jumlah dokter Per Propinsi
Gambar 4. Penyebaran dokter SPJP di Indonesia
Gambar 4 menerangkan tentang kondisi ketersediaan Dokter SPJP di berbagai daerah di Indonesia pada tahun 2021. Warna biru tua pada gambar menunjukkan bahwa Provinsi DKI Jakarta dan Provinsi Jawa Timur memiliki dokter SPJP yang lebih tinggi dibandingkan dengan provinsi lainnya. Di Provinsi DKI Jakarta sebanyak 251 SPJP dan di Provinsi Jawa Timur sebanyak 243 SPJP. Jumlah SPJP di Provinsi Maluku Utara, Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat hanya ada 3 SPJP. Provinsi Sulawesi Barat hanya mempunyai 2 SPJP.
SDM Dokter Sp. JP |
Provinsi DKI Jakarta, Jawa Barat dan Jawa Timur merupakan provinsi dengan dokter spesialis penyakit dalam dan penyakit jantung terbanyak berdasarkan surat tanda registrasi (STR) yang telah terdaftar pada Konsil Kedokteran Indonesia per Januari 2014. Sedangkan di beberapa provinsi lainnya, yaitu Kalimantan Utara, Gorontalo, Sulawesi Barat, Maluku, Maluku Utara dan Papua Barat tidak terdapat dokter spesialis penyakit jantung dan hanya sedikit dokter spesialis penyakit dalam. Diperkirakan, rasio dokter spesialis jantung dan penderita penyakit jantung koroner dan gagal jantung di Provinsi DKI Jakarta sebesar 1:268 dan 1:57, yang artinya bahwa 1 dokter spesialis jantung menangani sebanyak 268 pasien penyakit jantung koroner dan 57 pasien penyakit gagal jantung (Kementerian Kesehatan, 2014).
Silakan klik tombol dibawah ini untuk melihat jumlah dokter spesialis jantung masing-masing provinsi
Lihat jumlah dokter Per Propinsi
Gambar 4. Penyebaran dokter SPJP di Indonesia
Gambar 4 menerangkan tentang kondisi ketersediaan Dokter SPJP di berbagai daerah di Indonesia pada tahun 2021. Warna biru tua pada gambar menunjukkan bahwa Provinsi DKI Jakarta dan Provinsi Jawa Timur memiliki dokter SPJP yang lebih tinggi dibandingkan dengan provinsi lainnya. Di Provinsi DKI Jakarta sebanyak 251 SPJP dan di Provinsi Jawa Timur sebanyak 243 SPJP. Jumlah SPJP di Provinsi Maluku Utara, Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat hanya ada 3 SPJP. Provinsi Sulawesi Barat hanya mempunyai 2 SPJP.
Obat-obatan dan alat kesehatan untuk Jantung |
Terdapat berbagai penyakit tidak menular yang dapat berkembang menjadi penyakit jantung, beberapa di antaranya adalah hipertensi, diabetes mellitus, dan dislipidemia. Tatalaksana yang adekuat perlu dilakukan untuk kondisi tersebut mulai dari pelayanan primer, oleh karena itu, ketersediaan obat di puskesmas sebagai fasilitas pelayanan primer menjadi hal yang penting dalam kebijakan pelayanan kesehatan untuk jantung. Terlebih, pasien jantung yang telah stabil juga diharapkan dirujuk balik untuk dapat memperoleh tatalaksana di puskesmas, akan tetapi, obat-obatan yang diperlukan seperti high intensity statin seringkali tidak tersedia di puskesmas.
Gambar 1. Distribusi ketersediaan sebelas obat untuk penyakit kardiovaskuler di puskemas pada tahun 2019 dari data riset fasilitas kesehatan yang dipilih berdasarkan framework SARA dari WHO.
Data menunjukkan adanya variasi dalam ketersediaan sebelas obat untuk penyakit kardiovaskuler di 9831 puskesmas di Indonesia, meliputi amlodipine tablet, captopril tablet, furosemide tablet, metformin tablet, isosorbid dinitrat tablet, hidroclorotiazide tablet, aspirin tablet, furosemide injeksi, spironolactone tablet, lisinopril tablet, dan gliseril trinitrat tablet. Terdapat 4 obat yang memiliki ketersediaan di atas 80%, sementara spironolactone, lisinopril dan glyseril trinitrate memiliki ketersediaan obat di bawah 20%. Alasan utamanya adalah persepsi bahwa obat tersebut tidak dibutuhkan untuk layanan kesehatan yang ditawarkan oleh puskesmas. Namun, jika dibandingkan daftar obat essensial milik Kementerian Kesehatan, 4 dari lima obat yang dipantau secara nasional tersedia di seluruh Puskesmas di Indonesia. Ketersediaan obat di puskesmas sangat dipengaruhi oleh pemilihan daftar obat esensial khususnya yang dijadikan indikator kinerja puskesmas.
Gambar 2. Distribusi obat untuk penyakit kardiovaskuler di puskemas pada tahun 2019 dari data riset fasilitas kesehatan di empat regional.
Gambar 2 menunjukkan rerata ketersediaan sebelas obat penyakit kardiovaskuler di puskesmas di empat regional di Indonesia. Rendahnya ketersediaan obat-obat tertentu seperti spironolactone, lisinopril, dan gliceryl trinitrate menyebabkan rerata ketersediaan obat secara keseluruhan menjadi lebih rendah. Angka rerata di regional Jawa dan Bali lebih tinggi dibandingkan regional lainnya, dengan angka rerata yang paling rendah (kurang dari 40%) di regional Indonesia Timur karena kesulitan suplai obat ke daerah tersebut.
Selain obat-obatan, tatalaksana jantung dengan Percutaneous Coronary Intervention (PCI) merupakan komponen yang sangat penting karena jika terlambat dilakukan akan jatuh ke kondisi gagal jantung. Kementerian Kesehatan melakukan program pendampingan kateterisasi jantung di 37 RS dan menargetkan sebanyak 50% kabupaten/kota memiliki alat kesehatan lengkap untuk 4 penyakit katastropik termasuk penyakit jantung. Namun, terdapat tantangan berupa penyediaan SDM yang kompeten, fasilitas, dan pembiayaan. Oleh karena itu, Kementerian Kesehatan mulai meluncurkan program FASTEMI (Farmako Invasif Strategi Tatalaksana ST Elevation Myocardial Infarction) yang saat ini diuji coba di Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat dan Kabupaten Pasaman Barat, Sumatera Barat. Melalui program ini, pasien dengan serangan jantung tipe STEMI bisa diberikan fibrinolitik atau trombolitik di puskesmas oleh dokter umum atau di rumah sakit yang tidak memiliki fasilitas cath lab.
Obat-obatan dan alat kesehatan untuk Jantung |
Terdapat berbagai penyakit tidak menular yang dapat berkembang menjadi penyakit jantung, beberapa di antaranya adalah hipertensi, diabetes mellitus, dan dislipidemia. Tatalaksana yang adekuat perlu dilakukan untuk kondisi tersebut mulai dari pelayanan primer, oleh karena itu, ketersediaan obat di puskesmas sebagai fasilitas pelayanan primer menjadi hal yang penting dalam kebijakan pelayanan kesehatan untuk jantung. Terlebih, pasien jantung yang telah stabil juga diharapkan dirujuk balik untuk dapat memperoleh tatalaksana di puskesmas, akan tetapi, obat-obatan yang diperlukan seperti high intensity statin seringkali tidak tersedia di puskesmas.
Gambar 1. Distribusi ketersediaan sebelas obat untuk penyakit kardiovaskuler di puskemas pada tahun 2019 dari data riset fasilitas kesehatan yang dipilih berdasarkan framework SARA dari WHO.
Data menunjukkan adanya variasi dalam ketersediaan sebelas obat untuk penyakit kardiovaskuler di 9831 puskesmas di Indonesia, meliputi amlodipine tablet, captopril tablet, furosemide tablet, metformin tablet, isosorbid dinitrat tablet, hidroclorotiazide tablet, aspirin tablet, furosemide injeksi, spironolactone tablet, lisinopril tablet, dan gliseril trinitrat tablet. Terdapat 4 obat yang memiliki ketersediaan di atas 80%, sementara spironolactone, lisinopril dan glyseril trinitrate memiliki ketersediaan obat di bawah 20%. Alasan utamanya adalah persepsi bahwa obat tersebut tidak dibutuhkan untuk layanan kesehatan yang ditawarkan oleh puskesmas. Namun, jika dibandingkan daftar obat essensial milik Kementerian Kesehatan, 4 dari lima obat yang dipantau secara nasional tersedia di seluruh Puskesmas di Indonesia. Ketersediaan obat di puskesmas sangat dipengaruhi oleh pemilihan daftar obat esensial khususnya yang dijadikan indikator kinerja puskesmas.
Gambar 2. Distribusi obat untuk penyakit kardiovaskuler di puskemas pada tahun 2019 dari data riset fasilitas kesehatan di empat regional.
Gambar 2 menunjukkan rerata ketersediaan sebelas obat penyakit kardiovaskuler di puskesmas di empat regional di Indonesia. Rendahnya ketersediaan obat-obat tertentu seperti spironolactone, lisinopril, dan gliceryl trinitrate menyebabkan rerata ketersediaan obat secara keseluruhan menjadi lebih rendah. Angka rerata di regional Jawa dan Bali lebih tinggi dibandingkan regional lainnya, dengan angka rerata yang paling rendah (kurang dari 40%) di regional Indonesia Timur karena kesulitan suplai obat ke daerah tersebut.
Selain obat-obatan, tatalaksana jantung dengan Percutaneous Coronary Intervention (PCI) merupakan komponen yang sangat penting karena jika terlambat dilakukan akan jatuh ke kondisi gagal jantung. Kementerian Kesehatan melakukan program pendampingan kateterisasi jantung di 37 RS dan menargetkan sebanyak 50% kabupaten/kota memiliki alat kesehatan lengkap untuk 4 penyakit katastropik termasuk penyakit jantung. Namun, terdapat tantangan berupa penyediaan SDM yang kompeten, fasilitas, dan pembiayaan. Oleh karena itu, Kementerian Kesehatan mulai meluncurkan program FASTEMI (Farmako Invasif Strategi Tatalaksana ST Elevation Myocardial Infarction) yang saat ini diuji coba di Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat dan Kabupaten Pasaman Barat, Sumatera Barat. Melalui program ini, pasien dengan serangan jantung tipe STEMI bisa diberikan fibrinolitik atau trombolitik di puskesmas oleh dokter umum atau di rumah sakit yang tidak memiliki fasilitas cath lab.
Isu-isu Kebijakan di Tahun 2024 |
(1) Kebijakan proses pelayanan penyakit jantung
(2) Kebijakan Pendanaan
(3) Kebijakan SDM yang dapat melakukan pelayanan jantung:
(4) Kebijakan IT.
Registry kasus kardiovaskuler yang diatur dalam Keputusan Menteri Kesehatan Nomor HK.01.07/MENKES/1341/2023 tentang Rumah Sakit Jejaring Pengampuan Pelayanan Kardiovaskular : Apakah sudah berjalan? Bagaimana implementasinya?
Isu-isu Kebijakan di Tahun 2024 |
(1) Kebijakan proses pelayanan penyakit jantung
(2) Kebijakan Pendanaan
(3) Kebijakan SDM yang dapat melakukan pelayanan jantung:
(4) Kebijakan IT.
Registry kasus kardiovaskuler yang diatur dalam Keputusan Menteri Kesehatan Nomor HK.01.07/MENKES/1341/2023 tentang Rumah Sakit Jejaring Pengampuan Pelayanan Kardiovaskular : Apakah sudah berjalan? Bagaimana implementasinya?
Referensi |
BPJS Kesehatan. (2018). Laporan Pengelolaan Program dan Laporan Keuangan Jaminan Sosial Kesehatan Tahun 2017.
Cooper, L. A., Purnell, T. S., Ibe, C. A., Halbert, J. P., Bone, L. R., Carson, K. A., … Levine, D. M. (2016). Reaching for health equity and social justice in Baltimore: The evolution of an academic-community partners hip and conceptual framework to address hypertension disparities. Ethnicity and Disease, 26(3), 369–378. https://doi.org/10.18865/ed.26.3.369
Delany, T., Harris, P., Williams, C., Harris, E., Baum, F., Lawless, A., … Kickbusch, I. (2014). Health Impact Assessment in New South Wales & Health in All Policies in South Australia: differences, similarities and connections. BMC Public Health, 14(1), 699. https://doi.org/10.1186/1471-2458-14-699
Fossati, D. (2016). Beyond “Good Governance”: The Multi-level Politics of Health Insurance for the Poor in Indonesia. World Development, 87(November 2016), 291–306. https://doi.org/10.1016/j.worlddev.2016.06.020
Jakab, Z. (2018). Health systems respond to non-communicable diseases: Time for ambition. WHO Regional Office for Europe (Vol. 28). https://doi.org/10.1093/eurpub/cky069
Kementerian Kesehatan RI. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2016 tentang Penggunaan Dana Kapitasi Jaminan Kesehatan Nasional untuk Jasa Pelayanan Kesehatan dan Dukungan Biaya Operasional Pada Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama Milik Pemerintah Daerah, Pub. L. No. 71 Tahun 2016, 20 (2016). Indonesia: Kementerian Kesehatan.
Kypridemos, C., Collins, B., McHale, P., Bromley, H., Parvulescu, P., Capewell, S., & O’Flaherty, M. (2018). Future cost-effectiveness and equity of the NHS Health Check cardiovascular disease prevention programme: Microsimulation modelling using data from Liverpool, UK. PLoS Medicine, 15(5), 1–20. https://doi.org/10.1371/journal.pmed.1002573
Leppo, K., Ollila, E., Pena, S., Wismar, M., & Cook, S. (2013). Health in all policies - Seizing opportunities, implementing policies. Health in all Policies. Retrieved from http://www.euro.who.int/__data/assets/pdf_file/0007/188809/Health-in-All-Policies-final.pdf
Mendis, S., Al Bashir, I., Dissanayake, L., Varghese, C., Fadhil, I., Marhe, E., … Chestnov, O. (2012). Gaps in capacity in primary care in low-resource settings for implementation of essential noncommunicable disease interventions. International Journal of Hypertension, 2012. https://doi.org/10.1155/2012/584041
Mundiharno, & Thabrany, H. (2012). Peta JaLan Menuju Jaminan Kesehatan Nasional 2012-2019 (Edisi Ring).
Palafox, B., McKee, M., Balabanova, D., Alhabib, K. F., Avezum, A., Bahonar, A., … Yusuf, S. (2016). Wealth and cardiovascular health: A cross-sectional study of wealth-related inequalities in the awareness, treatment and control of hypertension in high-, middle- and low-income countries. International Journal for Equity in Health, 15(1), 15–17. https://doi.org/10.1186/s12939-016-0478-6
Pisani, E., Kok, M. O., & Nugroho, K. (2017). Indonesia’s road to universal health coverage: A political journey. Health Policy and Planning, 32(2), 267–276. https://doi.org/10.1093/heapol/czw120
The World Bank. (2014). Supply-Side Readiness for Universal Health Coverage : Assessing the Depth of Coverage for Non-Communicable Diseases in Indonesia. Retrieved from http://documents.worldbank.org/curated/en/370581468049838291/pdf/885230WP0P13340n0Indonesia0June2014.pdf
WHO Regional Office for Europe. (2019). Prevention and control of noncommunicable diseases in refugees and migrants. Retrieved from http://www.euro.who.int/ pubrequest
World Bank Group. (2018). Is Indonesia Ready to Serve? An Analysis of Indonesia’s Primary Health Care Supply-side Readiness. World Bank. https://doi.org/10.1596/30623
Yandrizal, Y., Suryani, D., Anita, B., Febriawati, H., Yanuarti, R., Pratiwi, B. A., & Saputra, H. (2016). Analisis Ketersediaan Fasilitas Kesehatan dan Pencapaian Universal Health Coverage Jaminan Kesehatan Nasional se Provinsi Bengkulu. Jurnal Kebijakan Kesehatan Indonesia, 5(3), 143–150. https://doi.org/10.22146/JKKI.V5I3.30668
Referensi |
BPJS Kesehatan. (2018). Laporan Pengelolaan Program dan Laporan Keuangan Jaminan Sosial Kesehatan Tahun 2017.
Cooper, L. A., Purnell, T. S., Ibe, C. A., Halbert, J. P., Bone, L. R., Carson, K. A., … Levine, D. M. (2016). Reaching for health equity and social justice in Baltimore: The evolution of an academic-community partners hip and conceptual framework to address hypertension disparities. Ethnicity and Disease, 26(3), 369–378. https://doi.org/10.18865/ed.26.3.369
Delany, T., Harris, P., Williams, C., Harris, E., Baum, F., Lawless, A., … Kickbusch, I. (2014). Health Impact Assessment in New South Wales & Health in All Policies in South Australia: differences, similarities and connections. BMC Public Health, 14(1), 699. https://doi.org/10.1186/1471-2458-14-699
Fossati, D. (2016). Beyond “Good Governance”: The Multi-level Politics of Health Insurance for the Poor in Indonesia. World Development, 87(November 2016), 291–306. https://doi.org/10.1016/j.worlddev.2016.06.020
Jakab, Z. (2018). Health systems respond to non-communicable diseases: Time for ambition. WHO Regional Office for Europe (Vol. 28). https://doi.org/10.1093/eurpub/cky069
Kementerian Kesehatan RI. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2016 tentang Penggunaan Dana Kapitasi Jaminan Kesehatan Nasional untuk Jasa Pelayanan Kesehatan dan Dukungan Biaya Operasional Pada Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama Milik Pemerintah Daerah, Pub. L. No. 71 Tahun 2016, 20 (2016). Indonesia: Kementerian Kesehatan.
Kypridemos, C., Collins, B., McHale, P., Bromley, H., Parvulescu, P., Capewell, S., & O’Flaherty, M. (2018). Future cost-effectiveness and equity of the NHS Health Check cardiovascular disease prevention programme: Microsimulation modelling using data from Liverpool, UK. PLoS Medicine, 15(5), 1–20. https://doi.org/10.1371/journal.pmed.1002573
Leppo, K., Ollila, E., Pena, S., Wismar, M., & Cook, S. (2013). Health in all policies - Seizing opportunities, implementing policies. Health in all Policies. Retrieved from http://www.euro.who.int/__data/assets/pdf_file/0007/188809/Health-in-All-Policies-final.pdf
Mendis, S., Al Bashir, I., Dissanayake, L., Varghese, C., Fadhil, I., Marhe, E., … Chestnov, O. (2012). Gaps in capacity in primary care in low-resource settings for implementation of essential noncommunicable disease interventions. International Journal of Hypertension, 2012. https://doi.org/10.1155/2012/584041
Mundiharno, & Thabrany, H. (2012). Peta JaLan Menuju Jaminan Kesehatan Nasional 2012-2019 (Edisi Ring).
Palafox, B., McKee, M., Balabanova, D., Alhabib, K. F., Avezum, A., Bahonar, A., … Yusuf, S. (2016). Wealth and cardiovascular health: A cross-sectional study of wealth-related inequalities in the awareness, treatment and control of hypertension in high-, middle- and low-income countries. International Journal for Equity in Health, 15(1), 15–17. https://doi.org/10.1186/s12939-016-0478-6
Pisani, E., Kok, M. O., & Nugroho, K. (2017). Indonesia’s road to universal health coverage: A political journey. Health Policy and Planning, 32(2), 267–276. https://doi.org/10.1093/heapol/czw120
The World Bank. (2014). Supply-Side Readiness for Universal Health Coverage : Assessing the Depth of Coverage for Non-Communicable Diseases in Indonesia. Retrieved from http://documents.worldbank.org/curated/en/370581468049838291/pdf/885230WP0P13340n0Indonesia0June2014.pdf
WHO Regional Office for Europe. (2019). Prevention and control of noncommunicable diseases in refugees and migrants. Retrieved from http://www.euro.who.int/ pubrequest
World Bank Group. (2018). Is Indonesia Ready to Serve? An Analysis of Indonesia’s Primary Health Care Supply-side Readiness. World Bank. https://doi.org/10.1596/30623
Yandrizal, Y., Suryani, D., Anita, B., Febriawati, H., Yanuarti, R., Pratiwi, B. A., & Saputra, H. (2016). Analisis Ketersediaan Fasilitas Kesehatan dan Pencapaian Universal Health Coverage Jaminan Kesehatan Nasional se Provinsi Bengkulu. Jurnal Kebijakan Kesehatan Indonesia, 5(3), 143–150. https://doi.org/10.22146/JKKI.V5I3.30668