Obat-obatan dan alat kesehatan untuk Jantung |
Terdapat berbagai penyakit tidak menular yang dapat berkembang menjadi penyakit jantung, beberapa di antaranya adalah hipertensi, diabetes mellitus, dan dislipidemia. Tatalaksana yang adekuat perlu dilakukan untuk kondisi tersebut mulai dari pelayanan primer, oleh karena itu, ketersediaan obat di puskesmas sebagai fasilitas pelayanan primer menjadi hal yang penting dalam kebijakan pelayanan kesehatan untuk jantung. Terlebih, pasien jantung yang telah stabil juga diharapkan dirujuk balik untuk dapat memperoleh tatalaksana di puskesmas, akan tetapi, obat-obatan yang diperlukan seperti high intensity statin seringkali tidak tersedia di puskesmas.
Gambar 1. Distribusi ketersediaan sebelas obat untuk penyakit kardiovaskuler di puskemas pada tahun 2019 dari data riset fasilitas kesehatan yang dipilih berdasarkan framework SARA dari WHO.
Data menunjukkan adanya variasi dalam ketersediaan sebelas obat untuk penyakit kardiovaskuler di 9831 puskesmas di Indonesia, meliputi amlodipine tablet, captopril tablet, furosemide tablet, metformin tablet, isosorbid dinitrat tablet, hidroclorotiazide tablet, aspirin tablet, furosemide injeksi, spironolactone tablet, lisinopril tablet, dan gliseril trinitrat tablet. Terdapat 4 obat yang memiliki ketersediaan di atas 80%, sementara spironolactone, lisinopril dan glyseril trinitrate memiliki ketersediaan obat di bawah 20%. Alasan utamanya adalah persepsi bahwa obat tersebut tidak dibutuhkan untuk layanan kesehatan yang ditawarkan oleh puskesmas. Namun, jika dibandingkan daftar obat essensial milik Kementerian Kesehatan, 4 dari lima obat yang dipantau secara nasional tersedia di seluruh Puskesmas di Indonesia. Ketersediaan obat di puskesmas sangat dipengaruhi oleh pemilihan daftar obat esensial khususnya yang dijadikan indikator kinerja puskesmas.
Gambar 2. Distribusi obat untuk penyakit kardiovaskuler di puskemas pada tahun 2019 dari data riset fasilitas kesehatan di empat regional.
Gambar 2 menunjukkan rerata ketersediaan sebelas obat penyakit kardiovaskuler di puskesmas di empat regional di Indonesia. Rendahnya ketersediaan obat-obat tertentu seperti spironolactone, lisinopril, dan gliceryl trinitrate menyebabkan rerata ketersediaan obat secara keseluruhan menjadi lebih rendah. Angka rerata di regional Jawa dan Bali lebih tinggi dibandingkan regional lainnya, dengan angka rerata yang paling rendah (kurang dari 40%) di regional Indonesia Timur karena kesulitan suplai obat ke daerah tersebut.
Selain obat-obatan, tatalaksana jantung dengan Percutaneous Coronary Intervention (PCI) merupakan komponen yang sangat penting karena jika terlambat dilakukan akan jatuh ke kondisi gagal jantung. Kementerian Kesehatan melakukan program pendampingan kateterisasi jantung di 37 RS dan menargetkan sebanyak 50% kabupaten/kota memiliki alat kesehatan lengkap untuk 4 penyakit katastropik termasuk penyakit jantung. Namun, terdapat tantangan berupa penyediaan SDM yang kompeten, fasilitas, dan pembiayaan. Oleh karena itu, Kementerian Kesehatan mulai meluncurkan program FASTEMI (Farmako Invasif Strategi Tatalaksana ST Elevation Myocardial Infarction) yang saat ini diuji coba di Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat dan Kabupaten Pasaman Barat, Sumatera Barat. Melalui program ini, pasien dengan serangan jantung tipe STEMI bisa diberikan fibrinolitik atau trombolitik di puskesmas oleh dokter umum atau di rumah sakit yang tidak memiliki fasilitas cath lab.